2. Apa Aku Bermimpi? (2)

2. Apa Aku Bermimpi? (2)
Aku berdiri di depan gedung lama peninggalan Belanda. Inilah sekolahku dulu, SMP Negeri 1. Di hadapanku terdapat 5 anak tangga menuju kantor majelis guru. Pintu kantor yang tinggi berwarna abu-abu telah terbuka keduanya. Sangat serasi dengan 2 buah jendela berukuran 1 kali 2 meter di sampingnya. Kokoh dan berwibawa.
Para peserta didik telah mulai berdatangan. Terus terang aku bingung juga, mau melangkahkan kaki ke arah mana. Tadi aku tidak sempat melihat ke kalender, untuk memastikan tanggal hari ini. Untuk berjaga-jaga, aku mengingat kembali kelas yang pernah kudiami. Aku pernah ada di kelas I.4, II.6 dan III.8. 
Entah mengapa hatiku mengatakan mungkin saat ini aku sedang menduduki kelas II.6. Kalau di zamanku asli tentu saja setara dengan kelas VIII. “Berarti lokalku ada di sayap kanan gedung ini.” ujarku pelan setengah berbisik. Aku terus berjalan dan memperhatikan anak-anak di sekelilingku. Terus terang aku lupa nama-nama mereka. Beberapa diantara mereka ada yang rersenyum padaku dan tentu saja kubalas pula dengan senyuman. 

Dibelakang ruang BK aku bertemu dengan teras coklat yang panjang. Refleks aku melompat menaiki teras setinggi 50 sentimeter di samping lorong tersebut. Ya, inilah kebiasaanku dulu setiap hari. Mirip-mirip gerakan parkour yang paling sederhana saat ini. Maksudku saat aku sudah dewasa tentunya. “Hup… Berhasil!” ujarku agak keras. “Ya iyalah berhasil bego. Kamu kan juaranya lompat-melompat, panjat-memanjat tembok sekolah.” seorang anak laki-laki menjawab kalem. Rambutnya keriting, kulitnya kuning bersih dan tubuhnya sedikit berisi. “Eh, ha-hallo…” jawabku menutupi kegugupanku. “Alall, pake hallo-halloan segala. Emang lagi bicara di telpon?” jawabnya cuek. “Kenapa lewat sini? Kan lokal kita di ujung sana. Yuk!” anak ini dengan cepat menyambar tanganku dan menarik paksa tubuhku setengah berlari mengikuti langkahnya yang panjang.
Aku berpikir keras mengingat nama sahabatku ini. Dia sedikit gempal namun sangat tampan, tubuhnya jauh lebih tinggi dariku. Pakaiannya rapi dan bersih. Dan dia memakai cincin tengkorak di jari manisnya. “Yap. Aku tahu sekarang! Kamu Ramses kan?” aku berteriak senang. Tiba-tiba dia berhenti dan menepuk kepalaku keras. “Pagi-pagi sudah jahat! Kebiasaan kamu!” rutuknya. “Dasar Anis!” teriaknya lagi sambil berlari meninggalkanku. “Ha ha ha… Ramses, tunggu aku!” kataku sambil mengejarnya.
Aku lega sekali bertemu dengan Ahmed Ramses sahabatku. Kami biasa saling memanggil nama ayah masing-masing. Tidak ada anak perempuan lain yang berani memanggil Ahmed dengan nama ayahnya kecuali aku. Aku sangat yakin sekarang, bahwa aku berada di kelas III.8. Kelas favoritku sampai aku besar, bahkan sampai aku telah menjadi seorang guru.
“Ramseeees… Tunggu aku, jangan terlalu cepat jalannya.” kataku lagi. “Ayolah, kita harus cepat. Aku belum bikin PR nih.” jawab Ahmed. “PR apa?” tanyaku. “PMP. Yang minggu kemarin, menulis seluruh alinea Pembukaan UUD 1945.” jawabnya tergesa. “Pagi ini kita dengan bu Silvia, setelah itu baru dengan pak Tasaruddin. Kamu udah selesai?” tanyanya padaku. Aku menggeleng.
“Kalau begitu nanti kita cabut aja, gimana?” tanya Ahmed sambil merangkul bahuku. Astaga, aku jadi ingat kelakuanku dulu saat masih sekolah. Jika tidak mengerjakan tugas, kami sering tidak ikut pelajaran tersebut. Cabut istilahnya. Biasanya aku cabut dengan Ramses, Edward dan Firdaus. Sesekali Romelson ikut bersama kami. Sepertinya ingatanku tentang masa lalu telah kembali. Aku sangat lega sekarang. “Jangan cabut, Aku hafal kok Pembukaan.” jawabku enteng. “Yang benar kamu?” Ahmed keheranan. “Gampang, salin aja punyaku nanti.” jawabku lagi. 
Tentu saja aku hafal Pembukaan UUD 1945. Bagaimana tidak hafal, aslinya aku kan seorang guru IPS. Di zamanku mana boleh guru yayasan Mulya Bhakti tidak hafal Pembukaan UUD 1945. Bisa tidak lulus jadi guru. Aku tersenyum geli. 
Kami masih berjalan berangkulan sampai di pintu kelas. Tiba-tiba Ahmed melepaskan tangannya dari bahuku, seperti menjaga sikap. Di hadapan kami, berdiri tiga orang anak perempuan yang wangi dan cantik. Lidya, Dessy dan Nani. Aku tersenyum maklum. Ahmed sangat menyukai Lidya sejak masih kelas I SMP. Tentu saja dia akan menjaga sikapnya sebaik mungkin di depan Lidya. 
“Ehm ehm…” goda Dessy sambil menyikut Lidya. Kulihat Lidya melengos pura-pura tidak paham maksud Dessy yang mengganggunya karena kedatangan Ahmed. “Wina, bilang sama koncomu ada yang titip salam ya.” ujar Dessy sambil menepuk bahuku. “Siiip.” jawabku. “Apaan sih.” jawab Lidya malu-malu. Mereka semua tahu, bahwa aku adalah sahabat Ahmed sejak kelas I dulu.
Ternyata, kami tidak bisa mencuri waktu untuk menyalin tugas rumah yang telah diberikan pak Tasaruddin minggu lalu. Penyebabnya karena aku dipanggil ke kantor majelis guru oleh bu Mendri Susanti, guru Bahasa Indonesia kami. Ada sekitar 1 jam aku bersama beliau membicarakan lomba cipta dan baca puisi yang akan diikuti sekolah kami minggu depan. Tidak hanya aku sendiri yang berdiskusi dengan beliau, ada juga siswa lain yang dulu sering ikut lomba denganku. Teddy Baskoro namanya, anak laki-laki yang tenang dan jago sekali berpuisi. Seingatku, nanti ketika telah SMA maka aku dan dia akan mengambil ekskul yang sama yaitu ekskul teater. 
Sesampai di dalam kelas ternyata bu Silvia sudah keluar dan digantikan oleh pak Tasaruddin. Kulihat 4 orang sahabatku sudah berbaris di depan kelas sambil menunduk. Perasaanku mengatakan mereka pasti sudah ketahuan tidak mengerjakan PR. “Permisi Pak, Saya terlambat.” ujarku pelan. Entah mengapa nyaliku jadi ciut melihat tatapan guruku itu. “Ayolah Wina, toh kamu aslinya juga seorang guru.” kataku dalam hati. Tapi percuma, aku tak bisa melawan wibawa beliau. Itulah bedanya guru masa lalu dengan guru di zaman aku telah menjadi guru. Zaman sekarang banyak guru yang diremehkan begitu saja oleh muridnya.
“Masuk Wina.” kata beliau sambil memberi isyarat dengan tangannya. Aku mendekat. “Kata teman-temanmu kamu dipanggil bu Mendri Susanti ke kantor. Ada masalah apa?” tanya bapak itu. “Anu Pak, disuruh ikut lomba puisi di Taman Budaya minggu depan.” tak berani aku mengangkat wajahku. Tanganku jadi dingin, karena aku takut terlambat. “O, begitu. Bapak kira ada masalah apa. Ya sudah, kamu boleh duduk.” jawab beliau. “Terima kasih Pak.” jawabku sambil berjalan menuju mejaku. “Eits, tunggu dulu. Tugasmu mana?” serang pak Tasaruddin. “Habislah Aku.” rutukku dalam hati. Kulihat keempat manusia ajaib yang berdiri di depan kelas tersenyum puas, seolah siap menerima aku sebagai anggota pelengkap geng mereka. “Awas kalian Ramses, Edward, Firdaus, Romelson…” rutukku dengan pandangan mata mengancam.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

3. Apa Aku Bermimpi? (3)

1. Babak Baru (3)