3. Apa Aku Bermimpi? (3)

“Maaf Pak, Saya lupa.” jawabku. “Inilah contoh anak yang membeda-bedakan guru! Bahasa Indonesia dikejar, PMP dianaktirikan! Pendidikan Moral Pancasila adalah pelajaran penting anak-anak, jangan seenaknya meremehkan. Bisa apa negara kita ini jika warga negaranya tidak bersikap baik, tidak menjadi warga negara yang patuh dengan peraturan!” serunya pada teman-teman sekelasku. Kira-kira, pada zaman aku menjadi guru, PMP itu semirip dengan PKN.  
Mendengarkan suara pak Tasaruddin, anak-anak hanya cekikikan tertawa. Tidak ada yang berani berkomentar atau tertawa terbahak-bahak membully aku. Beda zaman mungkin ya. Dulu serba teratur dan tidak ada yang berani dihadapan gurunya. Beda sekali di zaman aku mengajar anak-anak didikku. 
“Bagaimana mungkin kamu dapat menghafalkan alinea per alinea dengan lancar dan benar jika tidak ada salinannya. Makanya bapak suruh mengerjakan PR!” tangan beliau sudah siap akan menarik telingaku. Tapi aku mengelak dan menjawab, “Maaf Pak, tapi saya sudah hafal kok.” Pak Tasaruddin terkejut dan batal menarik telingaku. Lalu berkata menantang, “Coba bacakan. Jika bisa kamu bebas dari hukuman Bapak. Tapi kalau tidak, hukumanmu 3 kali lipat dari mereka.” 
Kemudian aku membacakan Pembukaan UUD 1945 dengan sangat lancar, seperti air mengalir di sungai yang landai. Sebentar kemudian aku dipersilakan duduk mengikuti pelajaran. Teman-temanku merasa heran dengan kemampuanku. Cameron dan Velly yang duduk di deretan menyalamiku. Aku selamat dari hukuman. Sementara keempat temanku akhirnya mendapatkan hukumannya menyalin PR di lantai sekolah tanpa meja, tanpa alas. “Maafkan Aku friends…” isyaratku dengan bibir. Mereka mencibir kesal.
***
Pulang sekolah, aku segera menuju kamarku, bermaksud untuk mengganti seragamku dengan pakaian rumah. Kubuka lemari coklat tua di kamarku. Sehelai t shirt kutarik sembarang. "Hm, pasangannya apa ya?" pikirku. Kucari pada rak kedua. Semuanya celana, ada yang panjang dan ada pula yang pendek. "Astaga, masa bisa lupa. Aku baru akan memiliki rok setelah kuliah tahun pertama." gerutuku pelan. Jadilah aku memakai t shirt biru dengan celana pendek senada.
Kembali berdiri di depan cermin, aku melihat pantulan seorang remaja culun berambut pendek dan berponi. Tomboy, tapi manis dan alami. Aku jadi malu kalau teringat gayaku setelah dewasa. Beberapa lukisan di wajahku membuatku lebih cantik secara palsu. Betapa tidak. Ada pelembab, alas bedak, bedak, lipstik, pemerah pipi, eye shadow… Semuanya palsu. Cantik yang dibuat-buat, untuk menutupi ketidakberdayaanku secara alami. Dunia orang dewasa memang sulit dimengerti karena penuh intrik dan kepalsuan.
Pandanganku beralih pada seluruh isi kamar. Di pojok kanan ada sepasang sepatu roda dan sebuah bola volly. Kemudian ada meja belajar dengan buku-buku yang tersusun rapi di atasnya. “Tapi mengapa ada beberapa gulungan karton pelangi di sana? Untuk apa ya?” hatiku berbisik ingin tahu.
Kudekati meja belajar itu, dan duduk dengan baik menghadap meja. Beberapa kertas lain yang sudah tergunting dan terpotong pisau cutter ternyata ada di atasnya. Sedikit berantakan dan bersampah. “Aku saat ini sedang bikin apa ya?” tanyaku. Kuperiksa sekali lagi dan kutemukan dua buah kartu ucapan selamat ulang tahun untuk dua orang nama yang berbeda. “Teruntuk sahabatku Bandjung.” kubaca tulisan sendiri yang cukup rapi. Satu lagi adalah untuk kak Devi Budiawan. 
Aku ingat sekarang. Aku memiliki banyak sahabat pena saat masih bersekolah. Kesukaanku adalah menulis surat, bercerita dengan sahabat-sahabat penaku yang tersebar di seluruh Indonesia. Bandjung di Samarinda dan kak Devi Budiawan di Jakarta adalah sahabat pena terbaik yang pernah kumiliki. Mereka pasti senang ketika menerima kartu ucapan selamat ulang tahun dan surat dariku. Setelah dewasa aku tak punya lagi sahabat pena. Semua serba canggih, ucapan selamat ulang tahun bisa lewat facebook, whatsapp atau bicara langsung via handphone.
Senyumku mengembang. Jika Bandjung dan kak Devi berulang tahun, berarti saat ini aku berada di akhir bulan Mei. Kalau begitu UN sudah di depan mata. “Bagaimana bisa aku akan menghadapi UN nanti, jika aku tidak belajar?” pikirku. “Tapi zaman dulu istilahnya bukan UN (Ujian Nasional), melainkan Ebtanas (Evaluasi Tahap Akhir Nasional).” batinku. Istilah Ebtanas berlaku sejak tahun1980-an sampai era 2000-an. Sedangkan istilah UN baru berlaku sekitar tahun 2005. 
Aku membereskan beberapa sampah kertas dan membuangnya ke tempat sampah. Sekalian saja kubersihkan seluruh kamarku. Kamar yang mungil, dan aku sangat menyukai tempat ini.
Tiba-tiba kak Windy masuk ke kamarku dan melompat begitu saja ke atas kasur. Sebuah kotak berwarna abu-abu berada dalam dekapannya. " Hai Kak, itu apa?" tanyaku. "Nih, papa suruh kasih ke kamu semalam. Tapi kamu udah tidur duluan." jelasnya sambil senyum-senyum misterius. 
"Apa sih kak? Bikin kepo aja. Sini, aku buka kotaknya." jawabku sambil mendekat ke tempat tidur. "Kepo? Apa tuh kepo?" tanya kak Windy kebingungan. "Ah, eh... Nggak jadi, salah sebut. Maksudku aku ingin tahu." aku sedikit panik memikirkan jawaban atas pertanyaan kakakku. Bukankah kepo itu istilah kekinian yang sedang viral? Belum lahir istilah itu pada zaman aku masih SMP. Wajar saja kak Windy tidak mengetahuinya. Aku ini memang ceroboh. Bisa-bisa kak Windy curiga terhadap diriku.
“Ini kan hatong yang dijanjikan papa ke kamu. Makanya jangan suka pakai pesawat papa lagi. Kata papa itu buat kerjaan, bukan buat main. Kamu sih, jadiin pesawat papa buat mainan.” kak Windy nyerocos panjang sekali. “Hatong, kak?” tanyaku meyakinkan sekali lagi. Senyum lebar merekah dibibirku. Kak Windy balas tersenyum dan mengangguk. 
“Papa sayang sekali sama Wina. Makanya, Wina harus rajin belajar. Bikin papa bahagia dengan prestasimu.” lanjut kak Windy sembari membelai rambutku. Aku tak tahan lagi. Kakakku satu-satunya ini sangat sayang padaku. “Aku sayang papa, sayang kakak juga.” kataku menghambur kepelukannya. Mataku basah didesak rasa haru yang mendalam.
Malam harinya, aku mulai menyetel radio hatongku, biasa disingkat HT. Yang kumiliki ini seperti Handy Talky yang sering digunakan oleh para sekuriti ketika berkomunikasi. Hanya saja aku tidak menggunakan baterai sebagai sumber energi melainkan sebuah adaptor berwarna merah yang cukup besar dengan dua kabel berwarna merah dan hitam. Antena pemancarnya juga berbeda, tidak pendek dan kecil. Melainkan memakai kabel hitam yang terhubung dengan antena di atas atap rumah kami. Papa telah memasang dua antena, jenis Yagi untuknya dan jenis Ringgo untukku. 
Papa memakai pemancar amatir untuk mendukung pekerjaannya di bidang teknik dan bergabung dengan ORARI (Organisasi Amatir Radio Indonesia). Kalau aku, adalah anak-anak yang iseng beramatir ria memanfaatkan fasilitas yang dimiliki papaku. 
Daripada bermain keluar rumah, aku lebih suka bermain radio ini. Aku bisa bercakap-cakap dengan semua orang baru bahkan dengan anak-anak seusiaku. Awalnya kami tidak saling kenal, kemudian berbincang-bincang sampai akrab bahkan janjian akan saling bertemu. Istilah kerennya kopi darat. 
Selesai menyetel seluruh peralatan, aku segera masuk ke frekuensi kesukaanku, frekuensi 512. “Masuk kontek” ujar suara di seberang sana. “Ya… kontek dong.” balasku. “Kontek diterima… Rojer.” balas suara itu lagi. “Malam rojer. Ini Wina nih, Whiskey India November Alfa. Boleh gabung ganti?” tanyaku lancar mengeja alfabet fonetik yang menggunakan kode afroni yang disesuaikan dengan huruf-huruf alfabet Inggris. Ini biasa dipahami oleh orang yang bertukar pesan suara lewat radio amatir. Ya Tuhan, aku sangat menikmati kerinduanku berkomunikasi dengan alat ini. 
Asyik bermain radio amatir aku baru sadar bahwa jam Donal Duck di dindingku telah berada di angka 10. Tidak ada tawar menawar, aku harus tidur jika tidak ingin terlambat dan ditimpuk kak Windy lagi dengan bukunya.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

1. Babak Baru (3)

2. Apa Aku Bermimpi? (2)