3. Hujan

3. Hujan

“Wina, habiskan susunya Nak!” terdengar suara papa dari ruang makan. “Iya Pa, tunggu sebentar.” jawabku bergegas menghampirinya. “Papa udah sarapan?” tanyaku pada papa yang sedang serius membaca koran pagi di tangannya. “Sudah, tadi papa masak nasi goreng dengan telur mata sapi. Kalau Wina mau, masih ada di lemari.” jawab papa tanpa mengalihkan pandangannya dari koran itu. “Nantilah Pa, makasih. Besok-besok Wina aja yang masak buat Papa. Wina bisa kok.” jawabku santai.
Papa menghentikan bacaannya lalu menatapku serius. “Kok bisa?” tanya papa. “Ya bisalah. Setiap hari juga aku kan masak sarapan sendiri Pa. Bisa nasi goreng, mi goreng… Papa jangan salah ya. Gini-gini aku jago bikin masakan ayam balado lho…” dengan bangga kuuraikan semua kebiasaanku di pagi hari sebelum berangkat ke sekolah tempatku mengajar.
Papa menggulung korannya lalu memukul bahuku dengan keras. Aku meringis mengusap bahuku yangbperih. “Jangan mimpi kamu. Menghidupkan kompor saja sampai sekarang kamu tidak bisa.” katanya dengan kesal. “Astaga, aku keceplosan untuk yang pertama kalinya di depan papa.” kataku dalam hati. Tentu saja papa tidak percaya, karena aku adalah anak manja yang tidak pernah disuruh memasak, mencuci pakaian atau belanja ke pasar. Selalu papa dan kak Windy yang melakukan pekerjaan itu. “Hehe… Pura-pura kok Pa, jangan marah ya?” balasku merayu.

Hari Minggu ini hanya aku dan papa yang tinggal di rumah. Kak Windy pukul 6 pagi tadi sudah berangkat mengikuti kegiatan pramuka di sekolahnya. Kakakku adalah orang yang lincah, periang dan sangat aktif dengan kegiatan pramukanya itu. Aku ingat, setiap hari Minggu kakakku akan pulang sore sekali. 
Papaku adalah seorang ayah yang sangat memberikan kebebasan pada anak-anaknya. Apapun kegiatan sekolah boleh kami ikuti. Tidak terlalu banyak rambu-rambu yang harus dipatuhi di rumah ini. Padahal beliau adalah seorang single parent dengan kesibukan yang luar biasa. Namun jika sedang tidak ada pekerjaan beliau lebih sering memasakkan sendiri makanan untuk kami anak-anaknya. 
Aku sangat bangga memiliki ayah yang begitu perhatian pada keluarga.
Hari Minggu ini sepertinya akan kuhabiskan di dalam rumah saja. Sejak 2 jam yang lalu hujan turun tiada henti. Setelah selesai di meja makan, aku pamit pada papa masuk ke kamar lagi. “Papa sebentar lagi mau ke rumah pak Anwar ya Win. Ada janji dengan beberapa orang teman papa di sana.” kata papa. “Ya Pa, minta tolong pintunya papa kunci saja. Wina lewat pintu samping nanti.” balasku sambil mencium pipi papaku. Aku pun berlalu menuju kamarku.
Sesampai di kamar, aku langsung menghidupkan pesawat radio amatirku. Tidak ada hal lain yang ingin kulakukan di hari hujan begini kecuali berbincang-bincang dengan teman-temanku di udara.
Beberapa teman terdengar bercengkerama di frekuensi kesukaanku. Saat itu yang menjadi net (pimpinan yang menghandle suara masuk dan keluar) semua warga (istilah untuk anggota yang bergabung pada waktu tersebut) adalah Pingkan. Suaranya merdu, terampil sekali memimpin pembicaraan sehingga semua warga mendapat bagian untuk bicara, kecuali aku. Sejak tadi aku hanya menjadi pendengar yang baik. Aku ikut tertawa senang bila ada yang melontarkan lelucon dan dibalas oleh yang lain.
“Wina dari tadi diam aja tu Bu Net. Jangan-jangan dia ketiduran gara-gara hujan, ganti.” seseorang terdengar bicara di seberang sana. “Eh, iya. Ada yang mau salamin Wina gak ya? Masuk deh, dipersilo.” jawab Pingkan. “Rojer. Boleh ga aku aj akin Winanya bergeser Net?” tiba-tiba aku terkesima. “Suara itu… Aku kenal suara itu…” bisikku dalam hati. “Monggo, diajak turun dua deh, ganti.” jawab Pingkan. “Thanks Net yang baik hati. Ayo yang namanya Wina, kita turun dua yuk!” jawab suara itu lagi. “Baik.” jawabku patuh. Kami bergeser dua angka ke jalur yang lebih rendah. 
“Selamat siang. Ini siapa ya?” tanyaku walaupun aku kenal sekali suara itu. “Siang Wina, kita belum pernah ngobrol sebelumnya. Saya Tio, Tenggo India Oskar. Kamu Wina anak SMP I ya?” balasnya. “Iya, kok Tio tahu?” tanyaku. “Kan aku nguping dari tadi pas kamu baru bergabung dengan Pingkan.” jawabnya ringan. 
Aku makin yakin bahwa suara yang kukenal itu memang dia, Tio… Aku ingat memang pernah mengalami hal ini. Memang beginilah cara aku dan Tio dipertemukan oleh Tuhan bertahun-tahun yang lalu, yang ternyata aku berada kembali di saat itu. Aku bingung menjelaskannya sebingung diriku mencerna kejadian aneh yang menimpaku. “Apakah Tuhan mengembalikan aku ke masa lalu untuk kembali bertemu lagi dengan Tio?” batinku.
“Wina, boleh nggak aku main ke rumah kamu?” tanya Tio. “Boleh. Tapi sekarang masih hujan.” jawabku. “Ya, lihat saja nanti. semoga hujannya cepat berhenti.” ujarnya. Dan aku ingat sekali, bahwa tak lama kemudian hujan akan berhenti dan kami akan bertemu. Aku ingat juga bahwa kami akan memakai baju serupa. Kenangan yang indah. 
Ternyata betul juga. Hujan telah reda, dan Tio akan segera bertemu denganku. Aku menunggunya di teras depan rumahku. Keringat dingin mulai menjalari tubuhku. Tio adalah orang yang spesial di hatiku. Kami akan bertemu, kemudian akrab dan akhirnya berlalu begitu saja. Aku akan kehilangan Tio selamanya, yang jelas sampai saat aku berada di masa depan dan berumur 35 tahun. 
“Kring kring…” bunyi lonceng sepeda terdengar 2 kali. Aku melambaikan tangan pada seseorang yang kuyakin itu memang adalah Tio. Aku tak bisa melupakan kejadian ini, karena aku pernah mengalaminya dulu. “Hallo, aku Tio.” dia mengulurkan tangan mengajak salaman. Tubuh yang berisi, rambut yang sedikit ikal, wajah kotaknya dihiasi dagu yang tegas dan mata sipit yang ramah tak mungkin pernah terhapus dari memoriku. Walaupun ini untuk kedua kalinya, aku tetap gugup melihat pesonanya. “Wina.” ujarku pelan. “Kok baju kita bisa sama ya?” tanya Tio membuka percakapan hangat di antara kami. 
Aku tertawa. Kami memakai kemeja yang persis sama. Kemeja flannel kotak-kotak biru dan putih yang digulung sampai siku. “Berarti selera kita juga sama.” jawabku. “Kok kamu pakai sepeda ke sini? Memangnya rumahmu dekat dari sini?” tanyaku. “Ya ampun, aku dulu menanyakan hal yang sama dengan kalimat dan intonasi yang persis sama!” rutukku dalam hati. “Iya, rumahku di jalan Murapatti nomor 6A. Aku baru seminggu pindah ke sini.” jawabnya. “Tuhan, ini siaran ulangan… Tapi kenapa grogiku juga siaran ulangan? Kenapa debaran jantungku juga ulangan? Mohon hentikan ini dan kembalikan saja aku ke masa depan, Tuhan…” aku berdoa dalam hati. Sepertinya Tuhan tidak mengabulkannya karena tidak lama setelah kami berbincang-bincang hujan turun kembali. Dulu, aku dan Tio akan berpisah karena hujan yang turun. Alasannya Tio takut hujan akan makin lebat dan lama.
“Maaf Wina, aku pulang aja ya. Takutnya hujan makin lebat nih. Aku bisa basah kuyup sampai di rumah.” kalimat ini rasanya dulu juga telah diucapkan Tio padaku. Saat itu aku hanya mengangguk dan membiarkan dia pergi. Tapi kali ini aku tidak mau berpisah dengannya begitu cepat. “Duh, kok jadi ganjen begini, ya?” bisik hatiku. Benar, aku sepertinya telah menentukan sendiri jalan takdirku.
Aku malah mengajak Tio masuk ke rumah, lalu obrolan berlanjut sampai ke dapur kami. Sore itu, Tio memasakkan mie rebus yang paling enak sedunia untukku. Kami berbincang tentang sekolah, keluarga dan kesukaannya. Tio memiliki banyak bahan pembicaraan, membuaku tak ingin mengakhiri pertemuan dengannya. Banyak hal yang diceritakan Tio kali ini, berbeda dengan saat itu, di masa lalu.
Umur kami terpaut 3 tahun. Tio pindah ke SMA 8, karena diharuskan untuk ikut tinggal dengan ayahnya yang bertugas di kota ini. Ibunya seorang wanita karir ibukota yang sibuk dari pagi hingga malam. Awalnya Tio adalah anak baik-baik, tapi karena tidak ada kontrol dari orang tua dia berubah menjadi nakal dan cenderung jahat. Ayahnya memindahkan Tio ke kota ini agar mudah dikontrol dan tidak mengacau lagi.
Begitu seringnya Tio membuat ulah, sehingga tiap sebentar ibunya dipanggil oleh pihak sekolah. Ada karena memeras uang teman sekelasnya, membully, merokok di lingkungan sekolah sampai tawuran antar pelajar. Ini adalah hal yang baru kudengar dari Tio.
Dulu, Tio tidak pernah terbuka padaku tentang masa lalunya. Sekarang aku merasa takjub pada Tio yang dengan gamblang menceritakan perihal dirinya. Tidak ada rasa bangga karena kenakalannya. Pun tidak kubaca pula rasa malu dari raut wajahnya. Dia bercerita seolah hal itu memang wajar untuk diceritakan. Bagiku Tio begitu berbeda dengan semua teman yang pernah kumiliki. Dia berbeda dari Ahmed, Edward, Firdaus, Romelson bahkan Cameron sang ketua kelasku.
Aku juga merasa sedih mendengarkan ceritanya. Betapa tidak, sebenarnya Tio sangat butuh perhatian dan kasih sayang dari orang tuanya. Sebagai anak tunggal dia tidak memiliki anggota keluarga lain untuk mencurahkan segala perasaan. Tidak ada yang memperhatikan, menasihati atau mengarahkannya. Berbeda dengan aku yang walaupun tidak lagi memiliki mama tapi aku sangat diperhatikan oleh papa dan kakakku Windy. 
Aku berterima kasih pada hujan yang membuatku dapat berlama-lama dengan Tio. Menjelang Magrib hujan pun berhenti dan Tio pamit pulang padaku. Aku mengangguk dan mengizinkannya.
Malam ini aku hanya duduk terdiam di depan meja belajarku. Buku Bahasa Inggris yang terkembang tidak bisa terserap dalam otakku. Huruf-hurufnya seperti menari tak terkendalikan, menolak untuk dibaca. Akhirnya buku itu kututup begitu saja dan kuganti dengan diary kesayanganku.

The Best Part Ever in My Life

Berdiri kaku tak tentu
Di bawah pohon jambu
Pipi merona bagaikan buah yang memerah

Berjabat tangan
Menyebut nama perlahan
Seolah hanya ingin kau yang mendengar

Nyanyian hujan sore itu
Mendayu, iringi lagu di dadaku
Tatapanmu hangat jalari sanubari

Untuk pertama kali
Rasa damai di hati
Sedamai senyum Persefone, putri Zeus dan Demeter

Aku tersenyum, kemudian beranjak meninggalkan meja belajar menuju tempat tidurku yang empuk dan hangat. Sehangat tatapan mata Tio, cinta pertama dan terakhirku…
(Bersambung)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

3. Apa Aku Bermimpi? (3)

1. Babak Baru (3)

2. Apa Aku Bermimpi? (2)